Refleksi 74 Tahun Indonesia Merdeka : Kebebasan Berbicara di Media Sosial

Minggu, 1 September 2019 13:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini merupakan refleksi 74 tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apakah kebebasan berekspresi dan bermedia sosial, semakin demokratis atau oligarkis.

Sehari setelah sidang MK mengenai sengketa hasil pemilu berakhir, seorang kawan yang berprofesi sebagai pebisnis pakaian (daring) menuliskan curhatan melalui postingan facebook. Intinya dia merasa dirugikan secara material dengan adanya pembatasan akses internet dan media sosial oleh Kominfo.

"Kan kamu bisa menggunakan VPN," sanggah seorang komentator.

"Iya saya sih bisa pakai VPN, tapi bagaimana dengan klien dan pembeli? Belum tentu mereka mengerti ini. Lagian data kita rawan dicuri jika pakai VPN," Balas kawan saya.

Saya memahami kegundahan kawan saya itu. Menggunakan VPN (Virtual Private Network) melalui server negara lain agar bisa mengakses situs-situs yang diblokir dan dibatasi oleh pemerintah, dinilai sangat rentan dan juga berbahaya. Melalui VPN, segala aktivitas data akan direkam oleh VPN Provider. Celah ini bisa dimanfaatkan oleh cracker untuk menembus akses data pribadi, termasuk internet banking.

Menurut hasil analisis VOA, pembatasan akses internet dan media sosial tersebut membuat aktivitas daring terkait pemilu meredup sebesar 95%. Pada rentang 21 hingga 24 Mei, aktivitas instagram terkait pemilu mengalami penurunan sebesar 91,9%. Pada satu sisi,  prosedur ini mampu meredam lalu lintas hoaks dan ujaran kebencian di lini masa media sosial. Di sisi yang lain, dampak bisnis dan kerugian material bagi pelapak daring tidaklah sedikit. Limitasi membuat jaringan internet menjadi lebih lambat dan menurunkan omset usaha karena transaksi via whatsapp dan instagram kian terbatas. Selain itu, ditinjau dari dinamika sosial, kebebasan berpendapat kian tersaruk.

Saya semakin hati-hati ketika mengunggah tulisan di media sosial. Kritik pun demikian, apalagi ketika mengecam pejabat yang melakukan pelanggaran pemilu dan tindakan manipulatif lainnya. Jika tidak menggunakan nalar, narasi yang baik, disertai bukti-bukti yang valid, dengan mudah saya bisa dijerat balik melalui UU ITE. Dalihnya pencemaran nama baik. Sudah 74 tahun Indonesia merdeka, kebebasan berekspresi kian demokratis atau oligarkis? Semakin transparan atau hanya mementingkan segelintir elite dan pemegang kuasa?

Kembali kepada aksi blokir-memblokir. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai bahwasanya aksi limitasi tersebut tidak sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak dan bebas menyatakan pendapat serta menyampaikan informasi melalui media apapun. Tidak hanya perihal pembatasan akses internet dan media sosial, sebelumnya Kominfo pernah memblokir akses Vimeo dan Tumblr dengan alasan 2 situs tersebut sarat dengan konten negatif. Padahal Vimeo menyajikan konten video berkualitas yang tidak kalah dengan Youtube. Seandainya tidak diblokir, Vimeo bisa dijadikan sebagai media unjuk karya mahasiswa DKV dan perfilman.  Tumblr? Saya justru baru tahu Tumblr memuat konten negatif ketika diblokir Kominfo. Rasa-rasanya Tumblr hanya dijadikan pelarian dan media bereskpresi insan muda patah hati. Itu saja, tidak lebih! Daripada memblokir Tumblr, bukankah lebih baik Kominfo tegas memblokir situs penyedia film dan musik bajakan?

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Arinta Setia Sari

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Viral

Lihat semua